Tradisi Main Ski lot (Lumpur) di desa lekok Pasuruan
Satu lagi tradisi unik,
kali ini yang berhubungan dengan ski, kalau biasanya ski itu identik dengan es,
tapi tidak bagi penduduk desa Pantai Lekok, Pasuruan. Lho, kenapa? karena di
sana ski malah identik dengan lumpur. Main ski di atas lumpur sudah merupakan
atraksi tahunan yang biasa digelar setiap tahunnya bertepatan dengan hari raya
Ketupat atau beberapa hari setelah Idul Fitri.
Tradisi Ski Lot ini sudah turun temurun dilakukan oleh para nelayan di
sana. Awalnya dari rutinitas para nelayan mencari kerang dan rajungan di laut
dengan menggunakan papan. Nah, dalam perkembangannya apa yang dilakukan oleh
para nelayan ini akhirnya menjadi semacam tradisi setiap tahunnya dan dapat
disaksikan oleh para pengujung yang duduk di pinggiran arena ski.
Nama ski sendiri seperti yang kita
ketahui artinya adalah berselancar, sedangkan lot merupakan kata dari bahasa
Madura “Celot” atau lumpur maka jadilah perpaduan keduanya menjadi Ski Lot. Ski
lot dilakukan di atas lumpur tambak yang dikosongkan, para pesertanya biasanya
adalah pria dewasa namaun tak jarang pula wanita dan anak-anak juga turut
serta.
Peralatan ski lot ini terdiri atas
papan luncur yang panjnagnya 1.5 meter dan lebarnya 0,5 meter. Papan luncur ini
sedianya merupakan alat untuk mencari kerang bagi warga pesisir pantai namaun
telah modifikasi sedemkian rupa oleh para peserta.
Dalam ski lot mereka harus menangkap
kepiting, ikan lele dan belut dengan berselancar di atas lumpur. Peserta harus
menaiki papan luncur dengan posisi jongkok dan sebelah kaki harus tetap berada
di lumpur sebagai penggerak saat akan melaju. Siapa yang tercepat akan
keluar menjadi juara dan diberikan hadiahnya yang cukup menarik biasanya,
yaitu peralatan elektronik dan julukan nelayan cekatan dan cakap saat bekerja.
Selain lomba luncur, kegiatan ski
lot juga dimeriahkan dengan adanya pasar murah, attraksi organ tunggal dan
pesta rakyat. Ski lot menjadi kegiatan yang ditunggu-tunggu bagi masyarakat
sekitar karena menjadi ajang silaturahmi antar warganya. (berbagai sumber)
Air lumpur itu sontak terbelah
ketika papan luncur dari kayu yang ditumpangi Abdullah melintas di atasnya. Air
berwarna abu-abu terpercik kemana-mana ketika kaki pemuda asal Desa Tambak
Lekok, Kecamatan Lekok, Pasuruan itu menendang air, mempercepat laju papan
luncur. "Ayo,..ayo,..ayo,.." teriak penonton yang memadati arena
perlombaan skilot Selasa (31/10) ini. Dalam hitungan detik, Abdullah melintasi
garis finish, membuatnya tercatat sebagai juara skilot tahun 2006. Penonton pun
bersorak.
Kemeriahan kental terasa dalam perombaan skilot dan perahu hias 2006 di desa
Tambak Lekok, Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan, Selasa ini. Ribuan orang dari
berbagai kota di Jawa Timur tumpah ruah di arena balap di atas lumpur yang
lokasinya berjarak 70 KM dari Surabaya itu. Mereka menikmati sajian musik
dangdut dan pasar tradisional dadakan yang digelar di areal seluas 2 Ha,
sembari menyaksikan perlombaan skilot tentunya.
Sekilas, skilot tidak ubahnya sebuah perlombaan kecepatan dengan menggunakan
papan selancar seperti snowboard dan ski es. Bedanya, bila snowboard dan ski es
dilakukan di atas es, skilot menggunakan lumpur sebagai arena perlombaan.
Perlombaan tradisional yang hanya ada di Pasuruan ini diilhami oleh kebiasaan
masyarakat nelayan di daerah pesisir Jawa Timur dalam mencari kerang yang
terjebak di dalam lumpur.
Karena berjalan di lumpur sangat susah, masyarakat pencari kerang menggunakan
papan berukuran 30x100 cm untuk mempermudah berjalan di atas lumpur. Di
sela-sela kebiasaan mencari kerang dengan menggunakan papan luncur itu,
masyarakat mengenal sebuah permainan kecepatan. Sejak saat itulah budaya
"skilot" mulai dikenal. Biasanya skilot dilakukan di pinggir pantai,
ketika masa mencari kerang mulai dilakukan saat laut surut.
Asmawi, penduduk asli Lekok Pasuruan yang dikenal sebagai ahli skilot
mengatakan, meski tampak sangat sederhana, perlu keahlian khusus dalam
mengendalikan skilot. Terutama keahlian mengolah keseimbangan tubuh.
"Kalau kita lihat, hal itu sangat sederhana, tapi coba Anda kendarai
skilot, pasti kesulitan," kata Asmawi pada The Jakarta Post. Skilot
dikendarai dengan posisi tubuh merendah, dan dua tangah memegang kendali. Lutut
salah satu kaki menjadi tumpuan, sementara kaki yang lain berfungsi sebagai
dayung dengan menendang lumpur.
Dalam posisi itu, kemampuan tubuh untuk mengolah napas, sangat diperlukan.
Bahkan bagi Asmawi, napas yang panjang pun tidak cukup, bila dilakukan dalam
posisi itu. "Terus terang saja, faktor kekuatan napas sangat penting untuk
pengendara skilot, kalau tidak kuat napasnya, bisa-bisa kita akan kekelahan
dalam beberapa meter saja," kata Asmawi sembari tersenyum.
Abdussalam, salah satu tokoh masyarakat Lekok Pasuruan mencatat, perlombaan itu
mulai dilakukan secara kontinyu pada pertengahan tahun 1980-an.
"Pemerintah menganggap budaya tradisional itu sebagai potensi wisata,
sejak saat itu mulai dilakukan lomba-lomba yang dilakukan oleh
pemerintah," kata Abdussalam pada The Jakarta Post. Hingga pada pertengahan
tahun 1990-an, Pemerintah Daerah Jawa Timur membuatkan arena khusus skilot di
daerah Tanah Lekok Pasuruan.
Arena khusus skilot berbentuk tapal kuda dengan panjang lintasan sejauh 100
meter. Di bagian tengah, dibuat tanggul yang digunakan untuk berkumpulnya atlet
skilot. Dasar lintasan dipenuhi oleh lumpur dan air. Bila ada pertandingan
khusus, lintasan itu diberi pembatas dari tali dengan rumbai-rumbai dari kertas
warna-warni mencolok. Masyarakat yang menyaksikan pertunjukan itu berjajar di
pinggir lintasan.
Sebagai pertandingan tradisional, skilot tidak memiliki peraturan yang
mengikat. Alat ski-nya disediakan oleh panitia perlombaan. Untuk memilih jalur
pun, panitia melakukan undian dengan cara hopimpa dan suit. Peserta yang sudah
menempati posisi start sudah berada di atas papan. Ketika aba-aba hitungan
mudur tanda lomba dimulai dilakukan, dengan sekuat tenaga peserta skilot mulai
mendayung dengan salah satu kaki.
Dalam lomba skilot kali ini, diikuti oleh 44 peserta dewasa dan empat anak-anak
yang berasal dari komunitas nelayan dan petambak di Pasuruan. "Meski
aturannya sederhana, tapi lomba ini juga mengenal diskualifikasi, yaitu ketika
peserta lomba tidak mendayung dengan satu kaki, melainkan menjadikan kedua kaki
untuk berlari, itu kesalahan yang sering dilakukan," kata Mujiyin, Ketua
Panitia Perlombaan.
Yang menarik, skilot juga menyediakan hadiah berupa uang total sejumlah Rp.1,8
juta untuk tiga pemenang. Masing-masing peserta yang bersedia mendaftar menjadi
peserta pun diberi hadiah dana partisipasi Rp.10 ribu perorang. Sebuah nilai
yang cukup besar bagi masyarakat Pasuruan. "Siapa pun akan mendapatkan
uang dari lomba ini, yang penting untuk memeriahkan budaya tradisional,"
kata Mujiyin.